Cerbung: Mawar Hitam
Oleh: Musaafiroh El Uluum
Di bawah keremangan lampu taman, dua insan nampak serius dalam obrolan.
Entah apa yang sedang menjadi topik terhangat bagi mereka, namun kegamangan
tergores jelas pada raut keduanya. Sedang
apa mereka berdua malam-malam begini di taman belakang kampus? Gadis itu
menajamkan telinganya. Terdengar si laki-laki bersikeras meminta maaf dan
memohon agar si perempuan tidak lagi menangis. Tangis pun mereda seiring dengan
tangan lelaki yang menggelayut lalu merengkuh leher perempuan itu, membawamya
ke dada bidangnya. Mulut Dila semakin menganga melihat adegan romantis di
hadapannya. Matanya pun tak ubahnya burung hantu yang mendengkur saat dingin
malam membaur.
“Eh, Dil. Kenapa berhenti?” Sontak saja Dila terperanjat dengan kedatangan
kawannya tiba-tiba, sedang ia mengira temannya sudah sampai terlebih dahulu di
kos.
“Ngeliatin apaan, sih?” tanya temannya lagi.
“Ehm ... eng ... gak. Gak nge ... liatin apa-apa, kok,” jawabnya terbata-bata, “ayo pulang,” sahut Dila cepat, berharap siapa pun, termasuk teman kosnya sekalipun tidak melihat pemandangan yang barusan ia lihat.
# # # #
“Duh, San ... Santi!” Sebuah guncangan keras pada tubuh membuatku
tergeragap, segera membangkitkan diri. Napasku tersengal. Seperti ada yang
habis mencekik tenggorokan, jalur lewatnya udara. Astaga. Dahi, pelipis, dada, dan sekujur tubuh serasa basah.
Keringat tak henti-hentinya berkucur. Sedang Dila masih setia dengan
pertanyaan-pertanyaan yang masih belum dapat kucerna. Kedua belah tanganku
mengusap-usap bagian samping wajah serta membawa rambut-rambut kucai ke
belakang kepala. Berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri dari kepanikan yang
baru saja terjadi.
“Dila ...,” raungku sembari sesenggukan, lalu meraih tangan Dila dengan
gemetar.
“Iya, Santi. Dila di sini, kok,” kata gadis gembul itu seraya merapatkan
diri memeluk diriku yang ketakutan. Lalu, menyuruhku untuk meneguk air dari
gelas kaca.
Setelah sedikit membaik, Dila kembali menanyaiku. Namun, diriku tak kunjung
buka mulut. Rasanya bibirku terkunci, sehingga yang terjadi hanyalah gelengan
dan anggukan.
“Masih belum mau cerita, ya?” tanya Dila, kusambut dengan mata nanar.
Bingung ingin berkata apa.
“Yaudah, deh. Dila gak maksa. Nangisnya udahan, ya,” lirihnya. Aku pun
mengangguk begitu saja.
Dila terlihat habis mandi. Dari rambut yang digelung ke belakang, anak
rambutnya masih meneteskan air ke pelipis dan pipi yang chubby itu. Ia hendak beranjak, namun urung sebab aku tiba-tiba
bersuara.
“Dil.”
“Iya.”
“Kira-kira ...,” lirihku, “siapa yang udah tega membunuh Pak Dimas?”
Kata-kata itu sukses meluncur dari bibirku, meski agak gemetar. Setelah mimpi
tadi, aku agak shock dan efeknya
masih sangat kerasa di dunia nyata.
Lalu, dengan sangat
hati-hati Dila mencondongkan
badannya dan membisikkan sesuatu ke telingaku,
“Kalo aku bilang
…,” perkataannya terhenti sembari
mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada yang mendengarkan percakapan kami berdua, “Vi-o-la, kamu percaya,
gak?” katanya kemudian seraya menyipitkan mata.
“Hush, ngawur kamu,”
sergahku sambil
memberi pukulan kecil ke punggung tangan Dila.
“Awww .....” Dila meringis, lalu memanyunkan bibirnya. “Huh ... Santi
jahat.”
“Eh, tapi-tapi ... aku ada sesuatu yang mau aku tunjukkan sama kamu,”
serunya kemudian. Aku mendongak, sebab ia langsung berdiri ke arah gantungan
baju. Mengambil kemeja yang ia gunakan ke kampus tadi dan merogoh sakunya.
Setelah dirasa menemukan apa yang dicarinya, gadis itu langsung kembali
duduk di hadapanku. “Ini,” katanya seraya menyodorkan sesuatu di dalam
genggamannya.
“Apa itu?” tanyaku penasaran. Dahiku sedikit berkerut.
“Ini yang ingin aku tunjukkan ke kamu.”
“Gelang?” tanyaku sembari menatapnya tak paham. Sedang ia hanya menganggukkan
kepala.
“Aku yakin, ini punyanya Si Viola.” Ia begitu yakin. Namun tidak denganku.
“So?” tanyaku lagi.
“Iih ... Dila!!!” teriaknya mulai geram padaku, “IPK-mu aja 4.0, lho. But
how can you didn’t get my point? (Akan tetapi bagaimana bisa kamu tidak
memahami apa yang aku maksud?) Akh,” omelnya sedikit kesal. Sebenarnya aku mengerti.
Hanya saja, diriku berlagak tak tahu, pasang mimik kayak orang bego. Menunggu kalimat
apa yang akan dikatakan selanjutnya.
“San ... ” Mata Dila menatapku lekat, “ini sebagai penguat bukti bahwa
pembunuh itu adalah Vi-o-la,” lanjutnya seraya melakukan penekanan pada tiap
kalimatnya.
Alis kananku terangkat, tajam. Membentuk sebuah lengkungan busur yang siap
melesatkan ribuan anak panah pada lawannya. Seketika keadaan menghening, dan
sejurus kemudian tawaku meluap begitu saja.
“Ha ... ha ... ha ....” Terpingkal-pingkal aku, menerrtawakan lelucon Dila
yang begitu konyol. Aku tak lagi peduli dengan ekspresinya yang keheranan
ataupun cemberut dengan tingkahku yang memuakkan, mungkin.
Di sela-sela bahakku, gadis dengan rambut basahnya yang sedikit awut-awutan
itu menanyakan perihal sebab aku tertawa. Setelah puas diriku menertawakannya,
kuhela napas panjang lalu menatapnya sembari mencoba menyusun kata-kata, “Dil,
gelang kek gitu di dunia ini enggak hanya satu. Dan ...,” berhenti sejenak
menggelengkan kepala lalu tersenyum, “belum tentu juga itu milik Viola.”
“San!” tegasnya sambil menatap irisku bulat-bulat.
“Dil!” Aku mengembalikan panggilan itu. Memindai lebih dalam pupil
hitamnya. Menilik seberapa jauh gadis di depanku ini mengada-ada perkataannya. Namun,
tak kutemui gelagat membual di sana. Kulanjutkan lagi kata-kata yang terjeda.
“Oke. Cukup. Udah, jangan lagi mencurigai sembarang orang tanpa bukti yang
rasional, oke?!”
Aku tahu, ada sebersit ketidakterimaan dalam hatinya. Akan tetapi, aku
masih saja belum percaya dengan kecurigaan yang diutarakan oleh Dila tentang
Viola.
“Santi ... dengarkan aku dulu,” rengeknya, “dengarkan!” Ternyata dia masih
ngotot dengan pendapatnya.
Aish ... tanganku menepuk-nepuk jidat, menyerah dan memilih
mendengarkan apa lagi yang akan dikatakan sahabatku satu ini.
“Lihat ini, lambang channel ini mirip banget sama yang dipakek Viola, kan,
kan, kan?”
Deuh, anak ini terus saja mendesakku. Tetapi ... ada benarnya juga kata
Dila. Seketika kejadian beberapa hari yang lalu terlintas.
“Tin ... tin ....” Sebuah alphard merah menyongsong langkahku yang
hampir melewati besi tua berpoles itu. Terpergap karena bunyi klakson yang
tiba-tiba menghadang. Tanpa banyak cakap mobil itu menyerobot begitu saja,
mendahuluiku untuk masuk gerbang.
“Woyy ... punya mata gak,
sih!” cetus seorang perempuan setelah menurunkan kaca mobil miliknya.
Saat itu, tangannya terulur dari jendela mobilnya. Lalu,
sebuah gelang dengan liontin channel nampak tergantung menghiasi pergelangan
perempuan itu. Ya, Viola. Hiasan pada benda di tangan Dila sangatlah mirip
dengan gelang milik Viola.
“Kamu serius?” Diri ini akhirnya terbawa oleh ucapan Dila. Mulai mengamini asumsi yang cendeung menghakimi. Ia lalu mengangkat bahu, isyarat bahwa semua tergantung diriku. Mau percaya atau tidak.
# # # #
Senja mulai menampakkan keelokannya di ufuk barat. Memanjakan
netra siapa saja yang memutuskan untuk mendaratkan pandangannya ke sana. Indah,
jemawa seakan melekat pada langit sore, karena kemolekan seakan hanya ia yang
memilikya. Menyunggingkan senyum pada setiap sempat yang sempit, yang ia
dapatkan hanya beberapa saat. Benar, bagi senja, kehadirannya sangat singkat. Oleh
karena itu, ia merasa harus memanfaatkannya sebaik-baiknya. Salah satunya,
menunjukkan kepada dunia bahwa dirinyalah pusat dari segala sumber keindahan. Hilir
dari sekian hulu pujian, dan akhir dari segala permulaan.
Dengan segala bentuk hasrat senja, ambisi tersebut
nampaknya tak terbesit setitik pun pada seorang perempuan yang kini sedang
berjalan terhuyung di atas jalan sempit menuju sebuah pemukiman. Tak ada senyum
menawan pada wajah cantiknya. Hanya kusut, alis yang berpagut pada raut yang
menciut. Perempuan itu nampak begitu sedih, dengan langkah kuyu ia hampir tiba
di tempat tujuan, agaknya. Sebab, kaki-kaki yang sepertinya telah melembek
tulangnya berangsur-angsur itu nampak memelankan iramanya di atas tanah basah.
Serta merta tubuhnya limbung di atas sebuah kuburan yang masih basah. Mukanya pun menyungkur di atasnya. Perlahan buliran bening mengalir dari ujung pelupuk yang telah lembab. Ia sudah menangis sejak sebelum kedatangannya ke tempat itu. Kehilangan. Ya, kehilangan adalah hal yang sangat menyakitkan. Pergi adalah sebuah keniscayaan. Takdir Tuhan.
Namun, bagaimana mungkin Tuhan setega itu
kepada diriku?
Kalimat itu terus menerus menggaung dari bibir kecilnya. Ia
masih merah. Sangat merah. Semerah atma yang tercabik-cabik oleh takdir yang
semena-mena. Perempuan itu merasa sangat kecewa. Merasa tak berguna hidup di
dunia.
Namun, seketika egonya berhenti saat melihat gundukan
tanah segar di hadapannya. Ia lalu memosisikan diri agar dapat duduk senyaman
mungkin. Meski tidak dengan hatinya.
“Kak ....” Suaranya menggigil. Sangat lirih. Sembari meletakkan
rampaian bunga di atas kuburan itu.
Tangannya bergerak mengusap nisan putih yang sedikit
terbaluri debu. Dimas Anggara. Sebuah
nama terpampang sangat jelas di sana.
Kakak ... Sekali lagi perempuan itu menyebut kata itu. Lalu
mengucurlah sudah air mata yang tak lagi dapat dibendung. Sungguh, mega turut merasakan
kesedihan menyelimuti bumi tempat perempuan itu singgah, hingga hamparannya pun
seolah tenggelam dalam kedigdayaan ketidakberdayaan. Kelabu mulai memenuh, dan
rinai menyeruak dari celah-celah kesempurnaan evaporasi, tak terkendali.
Hujan sangat deras. Hingga air mata tak lagi terlihat, karena telah berbaur dengan rintik lebat yang mengguyur.
Bersambung ....