Cerbung: Mawar Hitam
Oleh: Musaafiroh El Uluum
“Mama ....” Bibir gadis itu bergetar memanggil seseorang
yang sangat dicintainya. Genap empat tahun sudah ibunya menghabiskan umur di
atas kursi roda. Menatap jendela kosong sembari sesekali meneteskan air mata.
Semenjak kanker yang menggerogoti otak dua tahun setelah pernikahan membuat
suaminya jatuh ke pelukan wanita lain.
Wanita yang kini hanya bisa mematung di samping jendela
kamarnya itu tak menyangka, lelaki yang berikrar sehidup semati di depan orang
tuanya benar-benar memilih alur lain, kisah yang tak pernah ada justru tercipta
saat ia sungguh-sungguh mengharapkan kebahagiaan.
“Ternyata sehidup semati yang kau maksud itu tak seperti
yang kubayangkan selama ini, Mas,” kata perempuan itu suatu hari di sebuah
taman.
“Sehidup sematimu hanyalah rajutan benang yang ditarik
ujungnya, lalu terurai seiring lepasnya ikatan yang tak begitu kuat.”
“Mar ....” Lelaki yang sedari tadi merunduk di sampingnya
berusaha mengatakan sesuatu tapi langsung dicekal.
“Omong kosong!” cetus perempuan itu tanpa mau memberi
kesempatan lelakinya berbicara.
“Dari awal, gagasan itu memang telah rapuh. Serapuh
keyakinan yang pernah kuberikan kepadamu ... hiks.” Ia terlihat payah untuk
melanjutkan kalimatnya. Serasa ada yang menyekat tenggorokan, sejurus kemudian
panas merambah ke pelupuk matanya.
Si lelaki pun segera mengambil kesempatan untuk angkat
suara, “Biar aku jelaskan dulu.”
“Tidak perlu! Aku sudah muak dengan semuua ini.” Suaranya
memarau seiring isak tangis yang mulai tak terkendali.
Lelaki itu kembali terdiam. Ia tak lagi sanggup
berkata-kata. Perasaan bersalah memenuhi dadanya, walaupun ia tahu ada sebuah
kesalahpahaman yang harus diluruskan. Akan tetapi dirinya tak menghendaki sakit
hati yang lebih mendalam pada wanita yang sangat dicintainya itu. Nyatanya, kebenaran
itu juga menampakkan sebuah kesalahan. Kesalahan yang hanya membuat wanitanya semakin
membenci dirinya.
Dua pasang mata menatap tajam ke arah jendela besar di
lantai dua itu. Sosok-sosok yang
mengendap-endap di balik pinus besar di taman itu sangat berhati-hati dalam
setiap pergerakan. Dua alis yang sedari awal membentuk palung, perlahan semakin
menjauhi satu sama lain seiring bola mata yang terbelalak seolah tak percaya
dengna penangkapan matanya.
Baca Juga: Cerpen | Puan Pembenci Hujan
“San, gua gak nyangka. Ternyata Viola itu rapuh,” desis
Dila.
Sementara Santi tak menggubris, hanya memfokuskan diri
pada satu titik pandang di depan sana.
Dua gadis itu membuntuti Viola yang mereka pergoki
membawa serampai mawar hitam dari sebuah gang yang sepi.
Setelah dua kejadian penemuan mayat di kampus, keduanya
merasa si pembunuh sengaja meninggalkan teka-teki dengan meletakkan setangkai
mawar hitam di atas korbannya. Entah apa motif sebenarnya, yang jelas antara
Santi maupun Dila saling berdebat tentang pelakunya.
“Coba deh San, yang pertama Pak Dimas. Dia deket sama
Viola. Yang kedua, Presiden BEM yang gua tahu mereka sempet cekcok. Tapi, ya
gak tahu juga sih. Di sisi lain ada cinta di lain cerita ada masalah. Logis,
gak sih?” cerocos Dila justru bingung sendiri dengan pemikirannya.
“Masa segitunya, sih. Kalau memang benar ada masalah.
Lalu kenapa dia tega menghabisi Pak Dimas yang katamu mereka ada rasa?” Santi
balik bertanya. Sedang Dila hanya mengangkat bahunya.
Kaca besar di rumah itu terkena siluet, membuatnya gelap
dari sebelumnya. Kedua gadis itu pun menggeser kaki mencari sisi yang lebih terang.
Mereka terus bergerak ke arah yang dirasa agak melenceng. Bukannya semakin
dekat justru tubuh mereka malah menjauhi taman, sampai-sampai tak sengaja
menabrak sesuatu.
“Awww.”
“Aduh ...,” celetuk seseorang yang berhasil membuat
ketiganya terjungkal.
“Denis???” seru kedua gadis itu bersamaan.
“Heh? Kalian ngapain di sini?”
Ketiganya saling bertatapan, seakan tanda tanya besar
sedang menyerbu otak masing-masing.
# # # #
“Eh eh ... pelan-pelan, dong. Sakit tau.”
“Sini lu.” Dila menarik keras tangan Denis, menjauh dari rumah besar, tempat mereka bertemu tanpa sengaja.
“Apaan, sih?” sergah Denis sembari melepaskan pegangan
perempuan itu.
“Kamu ngapain, Den, ngendap-ngendap di rumah Viola?”
selidik Santi sembari mengerutkan kening.
“Eh ... oh ... emm ... enggak ngapa-ngapain,” jawab Denis
seolah tak peduli tapi menunjukkan mimik yang tampak gusar.
“Kalian sendiri ngapain di sini?”
Mata Dila terbelalak ketika Denis justru mengembalikan
pertanyaan. Ia tergagap, sesekali menatap Santi yang terlihat jauh lebih tenang.
“Hayo ... ngapain?”
Pemuda berkumis tipis itu terus saja mencecar hingga
membuat Santi risih dan akhirnya angkat bicara, “Denis, yang patut dicurigai
itu kamu. Ngendap-ngendap di rumah orang. Cowok lagi. Ntar dikira maling tau
rasa kamu.”
“Ho’oh,” simpul Dila mendukung sahabatnya, “sedangkan
kami, kan cewek. Nggak ada yang perlu dicurigai, dong. Justru niat kami baik
pengen silaturahmi,” imbuh gadis gembul itu berbusa-busa.
“Ooh, gitu.” Denis manggut-manggut.
Keduanya pun bernapas lega, setidaknya tidak ada yang
perlu dikhawatirkan akan alasan mereka berada di rumah Viola. Toh, mereka
berhasil meyakinkan pemuda itu. keduanya memutuskan untuk pergi dari tempat itu
sebelum akhirnya dicegah oleh Denis.
“Katanya mau bertandang ke rumah Viola, kok malah pergi?
Yuk, bareng aja sama gua.”
“Gak mood,” ketus Dila.
“Lah, kok gak mood. Kenapa coba?”
Pemuda rese yang ditemui Dila dan Santi beberapa hari
lalu di kantin itu mengeluh, sedangkan keduanya tak lagi menggubris.
“Wait ... jangan pergi dong, please!” teriaknya
menghentikan langkah kedua gadis yang berangsur menjauh.
“Apalagi, sih?” Dila geram.
Keduanya pun memutar bola mata, malas. Namun berbalik
juga seraya mendekapkan tangan di depan dada.
“Hehe ...” Pemuda itu terkekeh sambil menggaruk tengkuk yang
tak gatal, lalu berujar, “kenalin gua dengan Viola, dong.”
What the hell. Kedua gadis itu terperangah.
# # # #
Flash back
Berita kematian kembali tersiar. Kini, peristiwa itu
menimpa Presiden BEM Dani Adrian. Pemuda tampan yang belakangan Dila ketahui
sempat adu mulut dengan Viola. Yah, lagi-lagi kecurigaan kami mengarah kepada
gadis bermata elang itu. Ah, bukan. Hanya Dila yang curiga. Kemudian ia
mengolah retorikanya hingga seakan aku turut masuk ke dalam pemikiran yang
lebih condong untuk menghakimi.
Asumsi egois itu berlanjut ketika kami melihat Viola
membawa serampai bunga dengan kelopak aneh yang selama ini menghantui bunga
tidurku. Mawar hitam. Setelah aku menceritakan pasal mimpi itu, kami pun
memutuskan untuk mengikuti Viola sampai rumahnya.
Tak berselang lama, kami mendapati pemandangan di luar
dugaan. Viola yang selama ini kami kenal judes nampak sangat rapuh di samping
perempuan yang termangu di atas kursi roda.
Ah, Viola yang malang. Aku melihatnya begitu tak berdaya
di depan kenyataan. Akan tetapi, mengapa aku merasa ada yang berbeda? Benarkah
Viola mempunyai dua kepribadian? Tiba-tiba aku berpikir bahwa ada yang tidak
beres di sini. Pasti ada alasan kenapa gadis elang itu bersikap sedemikian
rupa.
Arrrghh ... perenunganku gagal saat seseorang membuat
diriku dan Dila jatuh, ternyata orang itu adalah Denis, pemuda yang kami jumpai
kemarin sore.
Kami bertiga sempat saling curiga, sampai aku dan Dila
memutuskan pergi setelah akhrinya ia menghentkan kami dengan permintaan
mengejutkan. Meminta untuk didekatkan dengan Viola.
Bagaimana tidak, kenal saja tak pernah, bertemu pun tanpa
sengaja, karena dia ngebut dan aku hampir saja terserempet mobilnya.
Aish, aku rasa dia sedang jatuh cinta.
Bersambung ....