![]() |
Foto oleh Jeswin Thomas dari Pexels.com |
VNN.co.id, TANGERANG - Beberapa pekan ini,
masyarakat sedang ramai membicarakan mengenai mural bergambar Presiden Joko
Widodo “404: Not Found” yang dihapus dan pembuatnya dicari oleh aparat. Tidak
hanya mural itu saja yang dihapus, mural-mural yang mengkritik otoritas negara
pun ikut dihapus seperti mural bertuliskan “Dipaksa Sehat di Negeri Yang Sakit”
dan “Tuhan Aku Lapar”.
Mengutip Jurnal ICADECS
mengenai “Karya Mural Sebagai Medium Mengkritisi Perkembangan Jaman”, Mural
merupakan salah satu karya seni rupa atau lebih tepatnya karya seni lukis
dengan tembok atau dinding sebagai medianya. Jika merujuk pada sejarahnya,
mural di Indonesia sudah ambil bagian dalam mengkritik pemerintah Belanda saat
masa penjajahan.
Ekspresi Diri dan Kritik Sosial Bukan Kriminalitas
Jika melihat situasi
sekarang, mural-mural tersebut merupakan bentuk ekspresi diri serta bentuk
kritik terhadap penguasa. Pesan sosial yang disampaikan berdasarkan apa yang
dirasakan masyarakat.
Berdasarkan jurnal
Universitas Islam Bandung mengenai “Ekspresi Diri pada Pegiat Mural sebagai
Media Alternatif”, Mural dapat menjadi ekspresi diri seorang seniman yang
dimaknai sebagai tindak kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Disisi lain
mural dapat mengajarkan banyak hal, terutama dalam kepekaan dan kepedulian.
Ekspresi diri yang
dihadirkan oleh para seniman, mengandung kritik sosial terhadap siapapun
khususnya para penguasa. Kritik sosial dalam bentuk visual diruang publik ini,
harusnya menjadi pengingat untuk para pemegang otoritas dalam bekerja, bukan
menghapus dan mengkriminalisasi pembuatnya.
Dalam menyikapi hal
ini, aparat berserta pemerintah tidak perlu bersifat agresif dan represif. Menghapus
dan mencari pembuat mural, dapat dikatakan sebagai pembungkaman dan sudah
melanggar Hak Asasi Manusia mengenai kebebasan dalam berekspresi yang diatur
dalam UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil
dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Mengutip dari
Kompas.com, Penghapusan mural dan mengkriminalisasi pembuat mural oleh perintah
dan aparat hukum dianggap tidak berdasar, karena Presiden Presiden bukan merupakan lambang negara sebagaimana
termaktub dalam Pasal 36 (A) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 46
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan.
Hingga kini, kian banyak seniman yang membuat mural dengan mengkritik Pemerintah yang merupakan buntut panjang dari permasalahan tersebut. Selain itu terdapat Lomba Mural Dibungkam, diinisiasi oleh akun Instagram Gejayan Memanggil yang berasal dari Yogyakarta.
---
Penulis: Rizky Dwi Fajarudin
Editor: Sukmasih