Seringkali itu lewat setiap detiknya
dalam for your page (FYP) tiktok dan banyak sekali diposting ulang, banjirnya
informasi membuat manusia tak lagi bisa membedakan mana yang “asli” dan mana
yang “imitasi”. Kata-kata yang terkesan indah itu sudah dinilai dalam situasi
yang sekarang adalah bentuk karya sastra.
Berdalih bahwa itu sebentuk karya sastra, kebanyakan mereka berusaha keras menerakan
kata-kata yang luar biasa wah, indah-indah. Mungkin dengan tujuan membuat
pembaca terkesan, menganggap mereka kaya diksi dan kosakata, menganggap
mereka sudah luar biasa berpengalaman dalam dunia kepenulisan.
Tentu saja kata-kata indah itu tidak
salah, tak ada masalah, dan boleh kapan saja digunakan. Akan tetapi perlu kita
bedakan antara penggunaan sastra dengan nyastra. Di mana 'sih bedanya?
Karya
sastra pada umumnya dianggap memiliki nilai, sejarah serta 'cita rasa' yang
tinggi. Akan tetapi jelas beda dengan nyastra. Nyastra di sini saya artikan 'mempergunakan kata-kata/diksi
yang terlalu berlebihan'. kesusastraan menjadi media untuk merekam,
menyimpan, serta menyebarluaskan nilai-nilai luhur, ajaran-ajaran moral, serta
kearifan lokal yang menjadi tuntunan penting dalam perjalanan manusia Bali
untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Seringkali nyastra juga menggunakan
sinonim semena-mena. Semua kita rasanya
tahu jika netra berarti mata dan saliva berarti ludah. Namun tak begitu saja
netra dan saliva bisa digunakan sebagai sinonim pengganti kata mata dan ludah.
'Netra' memang berarti 'mata', namun
tak berarti bisa menggantikan kata 'mata' itu sendiri. Eksis dalam kata tuna
netra, rasanya aneh jika digunakan misalnya dalam kalimat 'Sudut netranya
meneteskan permata bening' atau 'Kedua netranya memerah akibat lamanya
menangis', bukan?
Dokter saja tidak pernah menggunakan
kata saliva jika sedang berkomunikasi dengan pasien, jadi mengapa kita harus
mempergunakan istilah medis tersebut dalam kalimat fiksi sekadar 'demi terbaca
keren'? Banyak penulis berusaha terlihat kaya diksi, namun bukan berarti kata
apa saja bisa digunakan untuk menggantikan kata sederhana dan banyak dipakai.
(Kompas)
Penggunaan kata-kalimat 'over ajaib'
dalam karya prosa/fiksi. Pernahkah membaca kalimat penuh kata-kata
'berlebihan'? Okelah jika ingin sekadar berpuisi atau merayu gebetan. Namun
jika terlalu nyastra dan penuh kosakata ajaib sepertinya malah akan membuat
pembaca bingung dan termiring-miring membayangkan, mencari arti kata itu di
kamus, atau malah skip karena pusing.
Sastra itu baik, berusaha melestarikan
sastra-bahasa juga sangat baik. Sesekali tak apa-apa menyisipkan majas,
ungkapan, dan lain-lain. Namun karena mayoritas pembaca dan pengikut media
sosial akan jauh lebih paham sesuatu yang singkat, padat dan jelas, sebisanya
kita hindari penggunaan berlebihan kata-kata yang berusaha keras
kedengaran nyastra.
Itu semua terjadi karena budaya literasi kita rendah, dan Taufik
Ismail menyebutnya dengan istilah “tragedi nol buku” Mengapa
disebut Tragedi? Taufik Ismail melakukan penelitian tentang “Kewajiban Membaca
Buku Sastra di SMA di 13 negara pada Juli-Oktober 1997. Ia melakukan
serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 Negara dan Bertanya tentang
kewajiban membaca buku, tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah,
bimbingan menulis, dan lengajaran sastra di tempat mereka.
Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib
dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di
kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis
mengenainya, dan diuji. Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara:
1. SMA Thailand: 5 judul di Narathiwat tahun
1986-1991
2. SMA Malaysia: 6 judul di Kuala Kangsat tahun
1976-1980
3. SMA Singapura: 6 judul di Stamford College tahun
1982-1983
4. SMA Brunei Darussalam: 7 juduldi SM Melayu I
tahun 1966-1969
5. SMA Rusia Sovyet: 12 judul di Uva tahun 1980-an
6. SMA Kanada: 13 judul di Canterbury tahun
1992-1994
7. SMA Jepang: 15 judul di Urawa 1969-1972
8. SMA Internasional Swiss: 15 judul di Jenewa
1991-1994
9. SMA Jerman Barat: 22 judul di Wanne-Eickel tahun
1966-1975
10. SMA Perancis: 30 judul di Pontoise tahun
1967-1970
11. SMA Belanda: 30 judul di Middleberg tahun
1970-1973
12. SMA Amerika Serikat: 32 judul di Forest Hills
tahun 1987-1989
13. AMS Hindia Belanda A: 25 judul di Yogyakarta
1939-1942
14. AMS Hindia Belanda B: 15 judul di Malang tahun
1929-1932
15. SMA Indonesia: 0 judul di mana sajatahun
1943-2005
Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMA
responden (bukan nasional),dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan
permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup
layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra:1) tak disebut di
kurikulum,2) dibaca cuma ringkasannya,3) siswa tak menulis mengenainya,4) tidak
ada di perpustakaan sekolah, dan5} tidak diujikan, dianggap nol.
Ternyata hasil penelitiannya sungguh mengejutkan!
Siswa SMA Indonesia Tidak Wajib Membaca Buku Sastra Sama Sekali (atau nol buku)
sehingga dianggap sebagai siswa yang Bersekolah Tanpa Kewajiban Membaca!
(Dharma:2014).
Sementara, membaca itu adalah jendela dunia, membaca
itu mencerdaskan, dan membaca itu membekali pembacanya untuk menguasai berbagai
hal. Syarat mutlak untuk mengetahui sesuatu adalah Iqra, membaca baik teks
maupun konteks. Untuk menulis pun, orang-orang wajib membaca!
“Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan
rohani yang baik” ( Buya Hamka)
“Books are the carriers of civilizations, without
books, history is silent, literature dumb, science crippled, thought and
speculation at a standstill. They are engines of changes, windows on the world,
lighthouses erected in the sea of time.” (Barbara W Tuchman)
(Buku adalah pembawa peradaban, Tanpa buku, sejarah
itu sunyi, sastra itu bodoh, sains lumpuh, pemikiran dan spekulasi terhenti.
Buku adalah mesin perubahan, jendela di dunia, mercusuar yang didirikan di
lautan waktu)
“There are crimes than burning books, one of them is
not reading them” (Ray bradbury)
(ada kejahatan yang lebih buruk daripada membakar
buku, salah satunya adalah dengan tidak membacanya) (Pusatdoktamadun).