Makalah Ikhlasunniyah, Macam-Macam Niat dan Cara Menumbuhkan Ikhlasunniyah -->
HUT RI 2023 VNNCOID IKLAN PENERJEMAH IKLAN PEMILUKADA 2024

Makalah Ikhlasunniyah, Macam-Macam Niat dan Cara Menumbuhkan Ikhlasunniyah

, 7/10/2024 05:57:00 AM

IKHLASUNNIYAH



 1.      PENDAHULUAN

Berbicara tentang ikhlasun niah, niat adalah permasalahan yang sangat luas, adakalanya seseorang berniat yang ini dan adakalanya berniat yang itu. Adakalanya pula seseorang berniat lebih dari satu.


Semuanya adalah diperbolehkan. Yang jelas dan pasti adalah bahwasanya inti dan tujuan dari kesemuanya adalah satu, yaitu seorang hamba berniat karena Allah, LILLAAH, dan bukan karena yang lain. Semuanya adalah realisasi dari ikhlas dan para pelakunya berada di atas jalan yang lurus, jalan petunjuk dan kebenaran.

Diriwayatkan dari Abu hafash Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : 


"Sesungguhnya Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan".


Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam beberapa tempat dari kitab shahihnya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953) dan Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya (no. 1908).


Niat adalah amalan hati yang hanya Allah saja yang tahu kelurusan niat seseorang. Orang lain tidak akan mampu mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya menjadi niat seseorang. Oleh karenanya Allah memberikan pahala yang berbeda pada amalan yang sama tergantung tingkat niatnya. Seperti memelihara anjing bisa berpahala besar jika niatnya lurus dan dapat pula menjadi dosa apabila niatnya berbeda.


Niat berkait erat dengan keikhlasan. Di dalam Al-Quran dikatakan oleh Allah bahwasannya sebuah amalan akan hilang pahalanya jika tidak dilakukan dengan niat ikhlas.


“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu merusak sedehakmu menyebut-nyebutnya dan menyakiti (persaan penerima), seperti orang yang  yang menginfakkan hartanya karena pamer/riya keopada manusia dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.perumpamaannya(prang itu) seperti batu licin yang diatasnya ada debu kemudian datanglah hujan lebat maka tinggalah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh euatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang kafir.(QS 2:264)”.


 Demikian ayat ini mengumpamakan dengan perumpamaan yang telak. Keikhlasan hanya akan muncul dari niat yang lurus dan tulus. Banyak orang yang berusaha untuk ikhlas namun seringkali keikhlasan itu tersamun atau putus di tengah jalan karena goncangan dan perebutan kepentingan. Keikhlasan akhirnya mengalah, inilah ikhlas yang tidak berasal dari niat yang kuat. Niat yang benar mampu membuat manusia tegas di jalanNya sehingga tidak ada ketakutan padanya. Niat memberikan tujuan sekaligus jalan bagi mereka yang telah mengazamkannya.


Syaikh Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa niat adalah dorongan yang pasti atau dorongan yang kuat bukan lintasan pikiran atau hanya sesuatu yang terbetik di dalam hati. Dengan demikian, niat sebenarnya menggambarkan proses di dalam.


Umar bin Abdul Aziz, ra (Umar II), Khalifah Rasyidin kelima mencontohkan bahwa kuatnya niat akan menjaga seseorang dari hilangnya keikhlasan. Khalifah Umar II dikenal sebagai Khalifah pertama yang menganjurkan warga Negara melakukan konversi ke Islam.


Padahal, salah satu sumber pendapatan Negara pada waktu itu adalah jizyah yang dipungut dari non-muslim. Keputusan ini sama saja dengan mengurangi secara drastis sumber pendapatan Negara sehingga Khalifah dinasehati oleh stafnya, “Amirul Mukminin, jika kebijakan ini terus dilanjutkan, Negara kita akan bangkrut dan kita dapat gaji dari mana?” Dengan tegas Khalifah yang shalih ini menjawab,”Aku lebih suka hal itu terjadi sehingga kita akan makan dari hasil mengelola lahan pertanian dengan kedua tangan kita sendiri.”

           
Hanyalah orang yang ikhlas seperti Umar II lah yang mampu melakukan itu. Membuat kebijakan yang baik yang akan meyejahterakan banyak orang namun juga siap dengan resikonya berupa terkorbankannya kesenangan pribadi. Sejarah mencatat, tak berapa lama kemudian Khalifah diracuni melalui persekongkolan dinasti Bani Umayyah yang takut akan keikhlasannya. Dialog kosmik antara Allah dan Iblis menjelaskan kepada kita begitu besarnya kekuatan niat ikhlas. Manakala Iblis telah melanggar perintah sujud kepada Nabi Adam as, Allah segera mengusir dan menyatakannya sebagai kafir. Iblis meminta kepada Allah agar dirinya dan anak turunannya diberi tangguh sampai akhir zaman agar dapat semaksimal mungkin merayu Bani Adam. Allah yang maha bijaksana memenuhi permintaannya. Iblis lalu memberi catatan bahwa ia akan menguasai Bani Adam “Kecuali hamba-hambamu yang terpilih diantara mereka.  [QS 15(al-HIjr):40]”.


Macam-Macam Niat
            Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan (niyat al-'amal) dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu (niyat al-ma'mul lahu).


            Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain. Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat (2 raka'at) harus dibedakan di dalam hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.


            Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)


2.     PEMBAHASAN
A.     Penjelasan Hadist
Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh balasan amalan yang dia lakukan sesuai dengan niatnya. Dalam hal ini telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: "Setiap amalan yang dilakukan seseorang apakah berupa kebaikan ataupun kejelekan tergantung dengan niatnya. Apabila ia tujukan dengan perbuatan tersebut niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan kebaikan, sebaliknya bila maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan". Beliau juga mengatakan: "Hadits ini mencakup di dalamnya seluruh amalan, yakni setiap amalan harus disertai niat. Dan niat ini yang membedakan antara orang yang beramal karena ingin mendapatkan ridha Allah dan pahala di negeri akhirat dengan orang yang beramal karena ingin dunia apakah berupa harta, kemuliaan, pujian, sanjungan, pengagungan dan selainnya". (Makarimul Akhlaq, hal 26 dan 27).


Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah, ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Allah ta`ala berfirman tentang ikhlas dalam ibadah ini :

4
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
 “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Q.S Al Bayyinah:5).


Niat yang ikhlas adalah apabila tujuan seorang hamba dari seluruh ucapan yang diucapkannya dan perbuatan yang dilakukannya yang nampak ataupun yang tersembunyi semata-mata untuk mencari wajah Allah تعالى
Akibat tidak Ikhlas.


Berikut ini  sebuah hadits nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang menceritakan keadaan orang-orang yang tidak ikhlas dalam amalannya, Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (artinya),


"Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid’. Allah berfirman, ‘Kamu berdusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi.’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka).


Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur'an, dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’. Ia menjawab, ‘Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur'an untuk-Mu’. Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu belajar Al Qur'an (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur'an agar dikatakan sebagai seorang Qari' (ahli membaca Al Qur'an), dan hal itu sudah terpenuhi.’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar (neraka).


Ketiga, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikaruniai berbagai macam kekayaan, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq karena Engkau.’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi’. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar (neraka)." (HR. Muslim)


B. Pentingnya Ikhlasun Niyah

1. Merupakan ruhnya amal Allah hanya menginginkan hakikat amal, bukan rupa dan bentuknya. Maka dari itu Dia menolak setiap amal yang pelakunya tertipu dengan amalnya. (Al-Hajj:37)

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya …” (Al Hajj : 37).


2.       Salah satu syarat diterimanya amal.
 “Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridhaan-Nya semata.” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)


3. Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah, bahkan sebelum ia melaksanakan amalnya. “Allah Azza wa Jalla berfirman, “Jika hamba-Ku hendak mengerjakan suatu keburukan, maka janganlah kalian (para malaikat) menulisnya sebagai dosa hingga dia mengerjakannya. Jika sudah mengerjakannya, maka tulislah satu dosa yang sama dengannya, dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah satu kebaikan baginya. Dan, jika dia hendak mengerjakan satu kebaikan namun belum mengerjakannya, maka tulislah satu kebaikan baginya. Jika dia sudah mengerjakannya, maka tulislah baginya sepuluh (pahala) kebaikan yang serupa dengannya hingga tujuh ratus kebaikan”. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).


“Barangsiapa menghampiri tempat tidurnya, sedang dia berniat hendak bangun untuk shalat dari sebagian waktu malam, namun dia tertidur hingga pagi hari, maka ditetapkan baginya seperti yang diniatkannya, dan hal itu merupakan shadaqah atas dirinya dari Rabbnya.”


“Barangsiapa sungguh-sungguh memohon mati syahid kepada Allah, maka Allah menghantarkannya ke kedudukan orang-orang yang mati syahid, sekalipun dia mati di atas tempat tidurnya”.


4.       Dapat merubah amal-amal yang mubah dan tradisi menjadi ibadah. Pekerjaan mencari rezki bisa menjadi ibadah dan jihad fi sabilillahi selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang haram dan mencari yang halal. Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan orang Mukmin kepada yang halal, bisa mendatangkan pahala di sisi Allah. “’Dalam persetubuhan salah seorang di antara kalian terdapat shadaqah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan birahinya dan dia mendapat pahala karenanya?’ Beliau menjawab, ‘Bagaimana menurut kalian jika dia meletakkannya pada yang haram, apakah dia mendapat dosa? Begitu pula jika dia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapat pahala’.” (HR. Muslim).


5.  Penentu nilai/kualitas suatu amal. Satu jenis amal dapat berbeda nilai pahalanya berdasarkan perbedaan niatnya.
“Sesungguhnya amal-amal itu hanya bergantung kepada niat. Dan, setiap orang hanya memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa ditujunya.” (HR. Al-Bukhary, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzy dan An-Nasa’y)



C. Cara Untuk Menumbuhkan  Ikhlasun Niyah

1. Senantiasa meluruskan niat sebelum mulai beramal.

            Sediakan waktu sejenak setiap akan memulai suatu amal untuk memastikan bahwa dorongan motivasi beramal itu memang benar-benar untuk semata-mata mencapai keridhaan Allah dan bukan untuk ambisi-ambisi lainnya. Setelah niat dalam diri benar, barulah beramal.


  2. Menyerahkan segala cintanya hanya kepada Allah, rasul dan akhirat


  3. Ilmu yang mantap

Ikhlas tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan membaca dan mengamati kandungan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang membicarakan masalah itu atau membaca perkataan orang-orang shalih. Tidak mungkin seseorang menghadap ke sesuatu di luar jangkauan pengetahuannya.


  4. Berteman dengan orang-orang yang ikhlas
Agar bisa mengikuti irama langkah mereka, mengambil pelajaran dari mereka dan mencontoh akhlak mereka.


  5. Membaca sirah orang-orang Mushlih
Mengenali kehidupan mereka, mengikuti jejak dan petunjuk mereka.


  6. Mujahadah terhadap nafsu

            Maksudnya, mengarahkan kehendak untuk memerangi hawa nafsu yang menjurus kepada keburukan, mengendalikan egoisme dan kecenderungan kepada keduniaan, hingga ikhlas karena Allah.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-‘Ankabut : 69)


  7. Berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah.


D. Bukti-Bukti Penguat Ikhlasun Niyah
a.       Takut Ketenaran Ketenaran itu sendiri tidak tercela. Tetapi yang tercela itu mencari ketenaran.


b.        Menuduh Diri Sendiri Orang yang mukhlis senantiasa menuduh diri sendiri sebagai orang yang berlebih-lebihan di sisi Allah dan kurang dalam melaksanakan berbagai kewajiban, tidak mampu menguasai hatinya karena terpedaya oleh suatu amal dan taajub terhadap diri sendiri. Bahkan dia senantiasa takut andaikata keburukan-keburukannya tidak diampuni dan takut kebaikan-kebaikannya tidak diterima.


c.       Beramal Secara Diam-diam Jauh dari Sorotan    Amal yang dilakukan secara diam-diam harus lebih disukai daripada amal yang disertai sorotan dan diekspos.


d.       Tidak Menuntut Pujian dan Tidak Terkecoh Oleh Pujian Orang-orang memujimu dari persangkaan mereka tentang dirimu. Maka jadilah engkau orang yang mencela dirimu sendiri karena apa yang engkau ketahui pada dirimu. Orang yang paling bodoh adalah yang meninggalkan keyakinannya tentang dirinya karena ada persangkaan orang-orang tentang dirinya.


e.        Tidak Kikir Pujian terhadap Orang Yang Memang Layak Dipuji Boleh jadi seseorang tidak mau memberikan pujian kepada orang yang layak dipuji, karena ada maksud tertentu di dalam dirinya atau karena rasa iri yang disembunyikan. Karena dia juga tidak mampu untuk melemparkan celaan, maka setidak-tidaknya dia hanya diam dan tidak perlu menyanjungnya


f.         Berbuat Selayaknya dalam Memimpin Orang yang mukhlis karena Allah akan berbuat selayaknya ketika menjadi pemimpin di barisan terdepan dan tetap patriotic ketika berada di barisan paling belakang. Hatinya tidak dikuasai kesenangan untuk tampil. Tetapi dia lebih mementingkan kemaslahatan bersama karena takut ada kewajiban dan tuntutan kepemimpinan yang dia lewatkan. Dia tidak ambisi dan tidak menuntut kedudukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi jika dia dibebani tugas sebagai pemimpin, maka dia melaksanakannya dan memohon pertolongan kepada Allah agar dia mampu melaksanakannya dengan baik.


g.       Mencari Keridhaan Allah, Bukan Keridhaan Manusia Tidak mempedulikan keridhaan manusia jika di balik itu ada kemurkaan Allah. Sebab satu orang dengan yang lain saling berbeda dalam sikap. Berusaha membuat mereka ridha adalah sesuatu yang tidak bertepi.


h. Menjadikan Keridhaan dan Kemarahan Karena Allah, Bukan Karena Pertimbangan Pribadi. Boleh jadi engkau pernah melihat orang-orang yang aktif dalam medan dakwah, apabila ada salah seorang rekannya melontarkan perkataan yang mengganggu atau melukai perasaannya, atau ada tindakan yang menyakiti hatinya, maka secepat itu pula dia marah, lalu meninggalkan harakah.Ikhlas menuntutnya untuk tegar dalam dakwah dan gerak langkahnya, sekalipun orang lain menyalahkan, meremehkan dan bertindak kelewat batas terhadap dirinya. Sebab dia berbuat karena Allah.


i.        Sabar Sepanjang Jalan.Perjalanan yang panjang, lambatnya hasil yang diperoleh, kesuksesan yang tertunda, kesulitan dalam bergaul dengan berbagai lapisan manusia dengan perbedaan perasaan dan kecenderungan mereka, tidak boleh membuatnya menjadi malas, bersikap santai, mengundurkan diri, atau berhenti di tengah jalan. Sebab dia berbuat bukan sekedar untuk sebuah kesuksesan atau pun kemenangan, tetapi yang paling pokok tujuannya adalah untuk keridhaan Allah dan mengikuti perintah-Nya.


j.         Rakus terhadap Amal Yang Bermanfaat. Dia senang melakukan puasa nafilah dan shalat dhuha. Tapi sekalipun waktunya habis untuk mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai, maka justru inilah yang lebih dia pentingkan.


k.        Menghindari Ujub.Yaitu tidak merusak amal dengan ujub, merasa senang dan puas terhadap amal yang telah dilakukannya. Yang seharusnya dilakukan orang Mukmin setelah melaksanakan suatu amal ialah takut kalau-kalau dia telah melakukan kelalaian, disadari maupun tidak disadari.


3.      KESIMPULAN
1.       Hendaklah dalam beramal dilandasi oleh keimanan kepada Allah, dan ini adalah niat yang paling prinsip karena tanpa keimanan semua amalan akan menjadi sia-sia, tidak berarti dan tidak bernilai sedikitpun di sisi Allah.
2.       Berniat cinta Allah.
3.       Berniat mengagungkan dan memuliakan Allah.
4.       Berniat untuk taat dan beribadah kepada Allah.
5.       Berniat mencari ridha Allah.
6.       Berniat mendapatkan kedamaian dan kelezatan bersama Allah ketika berbuat ketaatan dan beribadah kepadaNya.
7.       Berniat mengharapkan kenikmatan dan kelezatan memandang Wajah Allah pada hati kiamat dan ketika di surga.
8.       Berniat agar dijadikan istiqamah.
9.       Berniat agar mati husnul khatimah.
10.   Berniat mencari pahala, ganjaran dan balasan kebaikan dari Allah di dunia dan di akhirat.
11.   Berniat mendapatkan surga.
12.   Berniat takut mati su'ul khatimah.
13.   Berniat takut hukuman, ancaman dan adzab Allah di dunia dan di akhirat.
14.    Berniat takut neraka dan agar dibebaskan dari api neraka.
15.   Dan berbagai macam niat-niat syar'i lainnya.




Pelajaran Yang Dipetik

1. Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.


2. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan.


3. Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.


4. Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.


5. Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma'ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.


6. Wajibnya berhati-hati dari riya, sum`ah (beramal karena ingin didengar orang lain) dan tujuan dunia yang lainnya karena perkara tersebut merusakkan ibadah kepada Allah ta`ala.


7. Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang besar dan merupakan ibadah bila diniatkan karena Allah dan Rasul-Nya.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunan (ajaran)nya dari kami, maka amalan itu akan tertolak (di sisi Allah subhanahu wata'ala)." (HR. Muslim)


Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Ada Sebuah Lirik Nasyid Dari Raihan Yang Berhubungan Dengan Note Ini :

jika niat kita benar dari awalnya
penkerjaanmu akan diberkahi
semua usahamu akan sempurna
ganjaran pahala akan kau dapat
amalanmu takkan sia-sia
ada nilainya dunia akhirat

dunia ini tempat persinggahan
yang Tuhan ciptakan untuk manusia
semua cobaan dan dugaan
untuk menguji keimanan
Perkataan ulama-ulama mengenai urgensi niat :
“Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal …Berapa banyak amal yang remeh menjadi besar gara-gara niat dan berapa banyak amal yang besar menjadi remeh gara-gara niat.”


Redaksi 

TerPopuler

close