VNN.CO.ID, TANGERANG - Tren frugal living semakin menggema di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di media sosial. Gaya hidup superhemat ini menjadi respons terhadap rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025, sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut Eko Listiyanto, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), tren ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya kontribusi konsumsi rumah tangga dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 53,0% pada kuartal III-2024.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tiga kuartal pertama tahun ini pun stagnan di bawah 5%, dengan kuartal I dan III mencatat angka 4,91%, serta kuartal II di angka 4,93%. Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 hanya mencapai 4,95%, lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2023 yang berada di 5,05%.
“Kalau konsumsi terus turun, pertumbuhannya bisa lebih rendah lagi, mungkin hingga 4,8% atau 4,75%,” kata Eko dalam acara di kawasan Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Bank Indonesia (BI) turut memberikan perhatian terhadap fenomena ini. Otoritas moneter telah menyiapkan kebijakan antisipatif untuk menjaga daya beli masyarakat, salah satunya melalui insentif likuiditas sebesar Rp259 triliun hingga Oktober 2024. Dana ini disalurkan ke sektor-sektor strategis seperti hilirisasi minerba, pangan, otomotif, perdagangan, pariwisata, dan UMKM.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung, menegaskan bahwa kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) dirancang untuk mendorong penciptaan lapangan kerja. "Frugal living itu gaya hidup, tapi kami fokus pada kebijakan yang mampu mendongkrak daya beli dan kesejahteraan masyarakat," ujar Juda.
Penulis: Sukmasih