![]() |
Ilustrasi Anak Putus Sekolah |
Diman dan Saroji dulunya dua anak kampung yang saling melengkapi. Diman, yang memiliki peluang untuk melanjutkan pendidikan, sering belajar bersama Saroji, yang tak kalah cerdas namun harus meninggalkan sekolah demi membantu keluarganya. Saat Diman melanjutkan kuliah di kota, komunikasi mereka semakin jarang.
Beberapa kali Diman mencoba menghubungi, tetapi chat-nya hanya tanda ceklis satu, dan panggilan teleponnya tak pernah tersambung. Meski demikian, Diman selalu berbaik sangka, meyakini bahwa kesibukanlah yang menjauhkan mereka.
Lima tahun berlalu, Diman berhasil menyelesaikan kuliahnya. Namun, kebangkrutan usaha orang tuanya mengguncang kehidupannya. Hutang menumpuk, dan meski ia seorang lulusan berprestasi, mencari pekerjaan bukan perkara mudah. Dalam keterpurukan itu, Diman tiba-tiba teringat Saroji.
BACA JUGA: EDISI Ke #1. Saroji Memetik Buah Kesusahan Lambang Cinta dan Pengabdian.
"Apa kabar sahabatku? Apakah dia masih di kampung?" pikirnya. Harapan untuk bertemu sahabat lama memberi Diman kekuatan untuk kembali ke kampung halaman.
Sesampainya di sana, Diman mencari tahu keberadaan Saroji. Betapa terkejutnya dia saat menemukan sahabatnya sedang membantu petani di sawah. Saroji, yang kini lebih dewasa namun sederhana seperti dulu, menyambut Diman dengan hangat.
Mereka berbagi cerita, saling mendukung, dan Saroji, dengan bijaknya, menyemangati Diman untuk tidak menyerah. "Hidup memang keras, Man. Tapi bukan berarti kita harus berhenti mencoba," ucap Saroji.
Diman duduk bersila di atas tikar pandan yang usang, menatap sahabat lamanya, Saroji, yang kini menjadi seorang petani ulet di kampung halaman mereka. Dalam keheningan sore itu, mereka berbincang tentang kehidupan yang telah membawa mereka ke arah yang berbeda.
BACA JUGA: EDISI Ke #3. Saroji Memetik Buah Kesusahan Lambang Cinta dan Pengabdian.
Saroji, dengan tenang, mendengar curahan hati Diman yang merasa gagal. "Ji, aneh ya, sarjana kok nganggur," kata Diman, suaranya berat dan penuh beban. Ia menunduk dalam, seperti menyembunyikan rasa malu.
Saroji menepuk pundak sahabatnya, lalu tersenyum penuh pengertian. "Diman, kamu itu nggak nganggur. Kamu hanya perlu fokus. Pikirkan apa yang kamu pelajari selama ini. Jangan malah bangga menyebut dirimu nganggur," ujarnya dengan nada lembut namun tegas.
Kata-kata itu terasa seperti tamparan lembut yang menggugah hati Diman. Namun, beban di dada Diman terlalu berat untuk diabaikan. "Tapi, Ji, orang tua saya bangkrut. Konsep bisnis yang saya buat percuma saja, nggak ada modalnya," ujarnya sambil menghela napas panjang.
Hening sejenak. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari sawah di dekat mereka. Saroji tiba-tiba tersenyum, senyum yang penuh ketulusan. "Diman, saya ini bukan orang kaya. Tapi kalau kamu perlu uang untuk mulai usahamu, saya ada sedikit tabungan. Kira-kira cukup nggak 200 juta?" katanya dengan santai, seolah menawarkan hal sederhana.
Diman menoleh cepat, wajahnya penuh keterkejutan. "Saroji, kamu... serius?" tanyanya dengan suara bergetar, tak percaya dengan apa yang ia dengar.
BACA JUGA: EDISI Ke #2. Saroji Memetik Buah Kesusahan Lambang Cinta dan Pengabdian.
"Iya, Diman. Uang itu bukan untuk saya nikmati sendiri. Kalau bisa membantu sahabat saya bangkit, itu lebih dari cukup untuk membuat hidup saya bahagia," jawab Saroji dengan mata yang berbinar.
Diman tak mampu menahan air matanya. Ia memeluk Saroji erat, merasakan hangatnya persahabatan yang kini menjadi harapan baru dalam hidupnya. Di tengah segala kesulitan, Diman menyadari bahwa persahabatan sejati adalah harta yang tak ternilai, dan bahwa ketulusan Saroji adalah cahaya di tengah kegelapan.
Sore itu menjadi awal baru bagi Diman. Dengan bantuan Saroji, ia mulai membangun usaha kecil-kecilan yang perlahan berkembang. Setiap langkah maju yang ia capai, ia selalu mengingat sahabatnya, yang mengajarkan arti perjuangan dan keikhlasan.
Kisah ini mengajarkan bahwa dalam hidup, bukan hanya materi yang penting, tetapi juga kehadiran orang-orang yang tulus mendukung kita tanpa pamrih.
*Bersambung.....*
Penulis: Dadi Iskandar di Dedikasikan Untuk Mereka Yang Sedang Dalam Keterbatasan